 |
Jembatan Ampera, Palembang 7 November 2019. Jurnal Foto/ YSW
|
langit Palembang tertutup asap dari kebakaran hutan. Aku memutuskan untuk menghabiskan hari menjelajahi ikon kebanggaan kota: Jembatan Ampera. Dengan kamera di tangan dan semangat yang membuncah, aku memulai petualangan dari Pecinan
 |
Kawasan Pecinan Palembang 7 November 2019. Jurnal Foto/ YSW |
Dari kejauhan, Jembatan Ampera tampak megah membentang di atas Sungai Musi. Warna merahnya mencolok di antara langit biru dan air sungai yang tenang. Aku berjalan pelan di tepian sungai, menikmati semilir angin dan aktivitas pagi warga—ada yang jogging, ada yang berjualan pempek dan model, makanan khas Palembang yang menggoda selera.
Setelah puas mengambil beberapa foto, aku menyeberang ke sisi jembatan menggunakan perahu kecil—ketek, sebutan lokalnya. Dari atas air, Jembatan Ampera tampak lebih menakjubkan. Sang pengemudi perahu bercerita bahwa dulunya jembatan ini bisa terangkat agar kapal besar bisa lewat. Kini, meski mekanismenya sudah tak lagi difungsikan, pesonanya tak pernah luntur.
 |
Sungai Musi 7 November 2019. Jurnal Foto/ Ysw |
 |
Pasar 16 Ilir yang ramai |
Sampai di seberang, aku menyusuri Pasar 16 Ilir yang ramai. Hiruk-pikuk pedagang dan pembeli membuat suasana hidup dan penuh warna. Di sana aku mencicipi es kacang merah dan membeli oleh-oleh kain songket dari pedagang lokal.
 |
Pasar 16 Ilir yang ramai
|
Menjelang sore, aku naik ke area pejalan kaki di Jembatan Ampera. Dari atas, pemandangan Sungai Musi yang membelah kota tampak menawan. Langit mulai berubah jingga. Lampu-lampu jembatan perlahan menyala, memberikan nuansa romantis yang khas. Aku duduk sejenak, menyaksikan matahari tenggelam di balik bangunan kota.
 |
Jembatan Ampera. Jurnal Foto |
Hari pun berakhir, tapi kenangan tentang Jembatan Ampera dan kehidupan di sekitarnya akan terus terpatri. Di sana, aku tak hanya melihat sebuah bangunan, tapi juga merasakan denyut nadi kota Palembang.
 |
Perahu di Sungai Musi. Jurnal Foto |